Rabu, 24 Maret 2010

kangfoo

Rabu, 17 Maret 2010



Sabtu, 13 Maret 2010

memahami jiwa manusia

Manusia, dalam paradigma Barat postmodernisme; bagi Karl Marx disetir oleh perutnya (ekonomi) dan bagi Sigmund Freud oleh libido seksnya. Ketika berhijrah di abad ke 7 M, Nabi Muhammad saw. telah menyinggung temuan Marx dan Freud ini. Orang berhijrah itu disetir oleh tiga orientasi : seks, materi dan idealisme atau keimanan (lillah wa rasulihi). Artinya, manusia itu bisa jadi seharga dorongan perutnya, atau dorongan seksualnya dan dapat menjadi sangat idealis, meninggalkan kedua dorongan jiwa hewani dan nabati itu.

Jadi semua perilaku manusia hakekatnya disetir oleh jiwa atau nafs-nya. Tapi jiwa mempunyai banyak anggota, yang oleh al-Ghazzali disebut tentara hati (junud al-qalbi). Anggota jiwa dalam al-Qur’an diantaranya adalah qalb (hati), ruh (roh), aql (akal) dan iradah (kehendak) dsb. Al-Qur’an menyebut kata nafs sebanyak 43 kali, 17 kali kata qalb-qulub, 24 kali kata ta’aqilun (berakal), dan 6 kali kata ruh-arwah. Itulah, modal manusia untuk hidup di dunia, yaitu sinergi semua, buka independensi masing-masing anggotanya.

Nabi menjelaskan peran qalb (hati) dalam hidup manusia. Menurutnya, aspek penentu hakekat manusia adalah segumpal darah (mudghah), yang disebut qalb (hati). Gumpalan itulah yang menjadi penentu kesalehan dan kejahatan jasad manusia (HR. Sahih Bukhari). Karena begitu menentukannya fungsi hati itulah Allah hanya melihat hati manusia dan tidak melihat penampilan dan hartanya. (HR. Ahmad ibn Hanbal). Sejatinya, hati adalah wajah lain dari nafs (jiwa), maka dari itu hati atau jiwa manusia itu bertingkat-tingkat. Para ulama menemukan tujuh tingkatan jiwa dari dalam al-Qur’an:


Pertama, nafs al-ammarah bi al-su’, atau nafsu pendorong kejahatan. Ini adalah tingkat nafs paling rendah yang melahirkan sifat-sifat seperti takabbur, kerakusan, kecemburuan, nafsu syahwat, ghibah, bakhil dsb. Nafsu ini harus diperangi.

Kedua, nafs al-lawwamah. Ini adalah jiwa yang memiliki tingkat kesadaran awal melawan nafs yang pertama. Dengan adanya bisikan dari hatinya, jiwa menyadari kelemahannya dan kembali kepada kemurniannya. Jika ini berhasil maka ia akan dapat meningkatkan diri kepada tingkat diatasnya.


Tingkat ketiga adalah Nafs al-Mulhamah atau jiwa yang terilhami. Ini adalah tingkat jiwa yang memiliki tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif dalam menyerap prinsip-prinsip. Ketika jiwa ini merasa terpuruk kedalam kenistiaan, segera akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya.

Keempat, Nafs al-mutma’innah atau jiwa yang tenang. Jiwa ini telah mantap imannya dan tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor duakan nikmat materi.

Kelima, Nafs al-Radhiyah atau jiwa yang ridha. Pada tingkatan ini jiwa telah ikhlas menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya kepada Allah begitu besar. Jiwa inilah yang diibaratkan dalam doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (Tuhanku engkau tujuanku dan ridhaMu adalah kebutuhanku).

Keenam, Nafs al-Mardhiyyah, adalah jiwa yang berbahagia. Tidak ada lagi keluhan, kemarahan, kekesalan. Perilakunya tenang, dorongan perut dan syhawatnya tidak lagi bergejolak dominan.

Ketujuh, Nafs al-Safiyah adalah jiwa yang tulus murni. Pada tingkat ini seseorang dapat disifati sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna. Jiwanya pasrah pada Allah dan mendapat petunjukNya. Jiwanya sejalan dengan kehendakNya. Perilakunya keluar dari nuraninya yang paling dalam dan tenang.


Begitulah jiwa manusia. Ada pergulatan antara jiwa hewani yang jahat dengan jiwa yang tenang. Ada peningkatan pada jiwa-jiwanya yang tenang itu. Sahabat Rasulullah saw. Sufyan al-Thawri pernah mengatakan bahwa beliau tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih kuat dari nafsunya; terkadang nafsu itu memusuhinya dan terkadang membantunya. Ibn Taymiyyah menggambarkan pergulatan itu bersumber dari dua bisikan: bisikan syetan (lammat a-syaitan) dan bisikan malaikat (lammat al-malak).


Perang melawan nafsu jahat banyak caranya. Sahabat Nabi Yahya ibn Mu’adh al-Razi memberikan tipsnya. Ada empat pedang untuk memerangi nafsu jahat: makanlah sedikit, tidurlah sedikit, bicaralah sedikit dan sabarlah ketika orang melukaimu… maka nafs atau ego itu akan menuruti jalan ketaatan, seperti penunggang kuda dalam medan perang. Memerangi nafsu jahat ini menurut Nabi adalah jihad. Sabdanya “Pejuang adalah orang yang memperjuangkan nafs-nya dalam mentaati Allah” (al-Mujahidu man jahada nafsahu fi ta’at Allah ‘azza wa jalla). (HR.Tirmidhi, Ibn Majah, Ibn Hibban, Tabrani, Hakim dsb).


Kejahatan diri dalam al-Qur’an juga dianggap penyakit

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10)

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta (QS 2:10).

Sementara Nabi mengajarkan bahwa setiap penyakit ada obatnya. Para ulama pun lantas berfikir kreatif. Ayat-ayat dan ajaran-ajaran Nabi pun dirangkai diperkaya sehingga membentuk struktur pra-konsep. Dari situ menjadi struktur konsep dan akhirnya menjadi disiplin ilmu.


Ilmu tentang jiwa atau nafs itu pun lahir dan disebut Ilm-al Nafs, atau Ilm-al Nafsiyat (Ilmu tentang Jiwa). Ketika Ilmu al-Nafs berkaitan dengan ilmu kedokteran (tibb), maka lahirlah istilah al-tibb al-ruhani (kesehatan jiwa) atau tibb al-qalb (kesehatan mental). Tidak heran jika penyakit gangguan jiwa diobati melalui metode kedokteran yang dikenal dengan istilah al-Ilaj al-nafs (psychoteraphy).

Dalam Ilmu al-Nafs ditemukan bahwa raga dan jiwa berkaitan erat, demikian pula penyakitnya. Psikolog Muslim asal Persia Abu Zayd Ahmed ibn Sahl al-Balkhi pada abad ke 10 (850-934), menemukan teori bahwa penyakit raga berkaitan dengan penyakit jiwa. Alasannya, manusia tersusun dari jiwa dan raga. Manusia tidak dapat sehat tanpa memiliki keserasian jiwa dan raga. Jika badan sakit, jiwa tidak mampu berfikir dan memahami, dan akan gagal menikmati kehidupan. Sebaliknya, jika nafs atau jiwa itu sakit maka badannya tidak dapat merasakan kesenangan hidup. Sakit jiwa lama kelamaan dapat menjadi sakit fisik. Itulah sebabnya ia kecewa pada dokter yang hanya fokus pada sakit badan dan meremehkan sakit mental. Maka dalam bukunya Masalih al-Abdan wa al-Anfus, ia mengenalkan istilah al-Tibb al-Ruhani (kedokteran ruhani).

Jadi, hakekatnya manusia yang dikuasai oleh dorongan nafsu hewani dan nabati saja, boleh jadi sedang sakit. Manusia sehat adalah manusia yang nafsunya dikuasai oleh akalnya, Hatinya (qalb) untuk taat pada Tuhannya. Itulah insan kamil yang memiliki jiwa yang tenang, yang kembali pada Tuhan dan masuk surganya dengan ridho dan diridhoi. Yang senantiasa menyelaraskan antara fikir dan dzikir, antara akal dan wahy. Itulah manusia yang selama hidupnya menjadi sinar cahaya (misykat) bagi umat manusia.

Peringatan mauled nabi saw dan bidah

Saya pernah membaca dari buku terbitan kementrian agama Arab Saudi bahwa Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan dan dicontohkan pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. "Bagaimana dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia apakah ada hadist yang membenarkannya dan bagaimana sikap kita untuk menghadapi sesuatu yang dikatagorikan bid'ah?"

Tanya Jawab (422) Maulid Nabi s.a.w. dan Bid'ah
=======
Tanya :
=======
Assalaamu'alaikum Wr.Wb.
Ustadz yang saya hormati: Saya pernah membaca dari buku terbitan kementrian agama Arab Saudi bahwa Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan dan dicontohkan pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Dalam buku tersebut diperkuat pula dengan hadist-hadist shahih. Yang ingin saya tanyakan adalah: "Bagaimana dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia apakah ada hadist yang membenarkannya dan bagaimana sikap kita untuk menghadapi sesuatu yang dikatagorikan bid'ah?"
Wassalaamu'alaikum
=======
Jawab :
=======
Assalamua'alikum war. wab.
Ada tradisi umat Islam di banyak negara, seperti Indonesia, Malaysia, Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya, untuk senantiasa melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti Peringatan Maulid Nabi SAW, peringatan Isra' Mi'raj, peringatan Muharram, dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya aktifitas-aktifitas itu? Secara khusus, Nabi Muhammad SAW memang tidak pernah menyuruh hal-hal demikian. Karena tidak pernah menyuruh, maka secara spesial pula, hal ini tidak bisa dikatakan "masyru'" [disyariatkan], tetapi juga tidak bisa dikatakan berlawanan dengan teologi agama. Yang perlu kita tekankan dalam memaknai aktifitas-aktifitas itu adalah "mengingat kembali hari kelahiran beliau --atau peristiwa-peristiwa penting lainnya-- dalam rangka meresapi nilai-nilai dan hikmah yang terkandung pada kejadian itu". Misalnya, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Itu bisa kita jadikan sebagai bentuk "mengingat kembali diutusnya Muhammad SAW" sebagai Rasul. Jika dengan mengingat saja kita bisa mendapatkan semangat-semangat khusus dalam beragama, tentu ini akan mendapatkan pahala. Apalagi jika peringatan itu betul-betul dengan niat "sebagai bentuk rasa cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW".
Dalam Shahih Bukhari diceritakan, sebuah kisah yang menyangkut tentang Tsuwaibah. Tsuwaibah adalah budak [perempuan] Abu Lahab [paman Nabi Muhammad [SAW]. Tsuwaibah memberikan kabar kepada Abu Lahab tentang kelahiran Muhammad [keponakannya], tepatnya hari Senin tanggal 12 Robiul Awwal tahun Gajah. Abu Lahab bersuka cita sekali dengan kelahiran beliau. Maka, dengan kegembiraan itu, Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah. Dalam riwayat disebutkan, bahwa setiap hari Senin, di akhirat nanti, siksa Abu Lahab akan dikurangi karena pada hari itu, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab turut bersuka cita. Kepastian akan hal ini tentu kita kembalikan kepada Allah SWT, yang paling berhak tentang urusan akhirat. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW secara seremonial sebagaimana yang kita lihat sekarang ini, dimulai oleh Imam Shalahuddin Al-Ayyubi, komandan Perang Salib yang berhasil merebut Jerusalem dari orang-orang Kristen. Akhirnya, setelah terbukti bahwa kegiatan ini mampu membawa umat Islam untuk selalu ingat kepada Nabi Muhammad SAW, menambah ketaqwaan dan keimanan, kegiatan ini pun berkembang ke seluruh wilayah-wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kita tidak perlu merisaukan aktifitas itu. Aktifitas apapun, jika akan menambah ketaqwaan kita, perlu kita lakukan.
Tentang pendapat Ulama dan Pemerintah Arab Saudi itu, memang benar, sebagaimana yang kami tulis di atas. Tetapi, jika kita ingin 100% seperti zaman Nabi Muhammad SAW, apapun yang ada di sekeliling kita, jelas tidak ada di zaman Nabi. Yang menjadi prinsip kita adalah esensi. Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita utamakan. Nabi Muhammad SAW bersabda : 'Barang siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya adalah pahala dan [juga mendapatkan] pahala orang yang turut melakukannya' (Muslim dll). Makna 'aktifitas yang baik' --secara sederhananya--adalah aktifitas yang menjadikan kita bertambah iman kepada Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan lain-lainnya.
Masalah Bid'ah:
Ibnu Atsir dalam kitabnya "Annihayah fi Gharibil Hadist wal-Atsar" pada bab Bid'ah dan pada pembahasan hadist Umar tentang Qiyamullail (sholat malam) Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", bahwa bid'ah terbagi menjadi dua : bid'ah baik dan bid'ah sesat. Bid'ah yang bertentangan dengan perintah qur'an dan hadist disebut bid'ah sesat, sedangkan bid'ah yang sesuai dengan ketentuan umum ajaran agama dan mewujudkan tujuan dari syariah itu sendiri disebut bid'ah hasanah. Ibnu Atsir menukil sebuah hadist Rasulullah "Barang siapa merintis jalan kebaikan maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang yang menjalankannya dan barang siapa merintis jalan sesat maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang menjalankannya". Rasulullah juga bersabda "Ikutilah kepada teladan yang diberikan oleh dua orang sahabatku Abu Bakar dan Umar". Dalam kesempatan lain Rasulullah juga menyatakan "Setiap yang baru dalam agama adala Bid'ah". Untuk mensinkronkan dua hadist tersebut adalah dengan pemahaman bahwa setiap tindakan yang jelas bertentangan dengan ajaran agama disebut "bid'ah".
Izzuddin bin Abdussalam bahkan membuat kategori bid'ah sbb : 1) wajib seperti meletakkan dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang belum ada pada zaman Rasulullah. Ini untuk menjaga dan melestarikan ajaran agama.Seperto kodifikasi al-Qur'an misalnya. 2) Bid'ah yang sunnah seperti mendirikan madrasah di masjid, atau halaqah-halaqah kajian keagamaan dan membaca al-Qur'an di dalam masjid. 3) Bid'ah yang haram seperti melagukan al-Qur'an hingga merubah arti aslinya, 4) Bid'ah Makruh seperti menghias masjid dengan gambar-gambar 5) Bid'ah yang halal, seperti bid'ah dalam tata cara pembagian daging Qurban dan lain sebagainya.
Syatibi dalam Muwafawat mengatakan bahwa bid'ah adalah tindakan yang diklaim mempunyai maslahah namun bertentangan dengan tujuan syariah. Amalan-amalan yang tidak ada nash dalam syariah, seperti sujud syukur menurut Imam Malik, berdoa bersama-sama setelah shalat fardlu, atau seperti puasa disertai dengan tanpa bicara seharian, atau meninggalkan makanan tertentu, maka ini harus dikaji dengan pertimbangan maslahat dan mafsadah menurut agama. Manakala ia mendatangkan maslahat dan terpuji secara agama, ia pun terpuji dan boleh dilaksanakan. Sebaliknya bila ia menimbulkan mafsadah, tidak boleh dilaksanakan.(2/585)
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa bid'ah terjadi hanya dalam masalah-masalah ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk membedakan mana amalan yang masuk dalam kategori masalah ibadah dan mana yang bukan. Memang agak rumit menentukan mana bid'ah yang baik dan tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan dan perselisihan antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan. Selayaknya kita tidak membesar-besarkan masalah seperti ini, karena kebanyakan kembalinya hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran (furu'iyah). Kita diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena ini masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama).
Sikap yang kurang terpuji dalam mensikapi masalah furu'iyah adalah menklaim dirinya dan pendapatnya yang paling benar.
Demikian, semoga membantu
M. Luthfi Thomafi


Sholat di perjalanan

Dalam bepergian, ada beberapa keringanan (rukhsah) dalam beribadah yang diberikan oleh agama kita untuk meringankan dan memudahkan pelaksanaannya. Salah satu keringanan tersebut adalah pelaksanan ibadah sholat dengan cara qashar (dipendekkan) dan dengan cara jamak (menggabung dua sholat dalam satau waktu). Dengan demikian pelaksanaan sholat dalam perjalanan, atau disebut "sholatus safar", dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :

1. Itmam, atau sempurna yaitu dilakukan seperti biasanya saat dirumah.

2. Qashar, yaitu sholat yang semestinya empat rakaat diringkas atau dipendekkan menjadi dua roka'at.

3. Jama', yaitu mengumpulkan dua sholat, Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya', dalam salah satu waktunya.

SEMPURNA ATAU QASHAR?

Para ulama berbeda pendapat mengenai manakah yang lebih utama dalam melaksanakan sholat saat bepergian, apakah dengan sempurnya seperti biasa ataukah dengan qashar.

[1]. Pendapat pertama mengatakan qashar shalat saat bepergian hukumnya wajib. Pendapat ini diikuti mazhab Hanafiyah, Shaukani, Ibnu Hazm dan dari ulama kontemporer Albani. Bahkan Hamad bin Abi Sulaiman mengatakan barangsiapa melakukan sholat 4 rakaat saat bepergian, maka ia harus mengulanginya. Imam Malik juga diriwayatkan mengatakan mereka yang tidak melakukan qashar harus mengulangi sholatnya selama masih dalam waktu sholat tersebut.

Pendapat ini menyandar kepada dalil hadist riwayat Aisyah r.a. berkata:"Pada saat pertama kali diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian itu ditetapkan pada shalat bepergian, dan untuk sholat biasa disempurnakan" (Bukhari Muslim). Dalil ini juga diperkuat oleh riwayat Ibnu Umar r.a. beliau berkata:"Aku menemani Rasulullah s.a.w. dalam bepergian, beliau tidak pernah sholat lebih dari dua rakaat sampai beliau dipanggil Allah" (Bukhari Muslim).

Dalil lain dari pendapat ini adalah riwayat Ibnu Abbas r.a. juga pernah berkata:"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan sholat melalui lisan Nabi kalian s.a.w. bahwa untuk orang bepergian dua rakaat, untuk orang yang menetap empat rakaat dan dalam keadaan ketakutan satu rakaat."(H.R. Muslim).

[2]. Pendapat kedua mengatakan bahwa melakukan sholat dengan cara qashar saat bepergian hukumnya sunnah. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Syafii dan Hanbali dan mayoritas ulama berbagai mazhab.

Dalil pendapat ini adalah ayat al-Qur'an:

"وإذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا"

(Annisa:101).

"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu." Ayat ini dengan jelas menyatakan "tidak mengapa" yang berarti tidak keharusan.

Dalil tersebut juga diperkuat oleh riwayat dari beberapa orang sahabat yang melakukan sholat sempurna pada saat bepergian. Sekiranya qashar wajib, tentu tidak akan ada seorang sahabat yang meninggakannya. Beberapa sahabat yang diriwayatkan tidak melakukan qashar saat bepergian adalah Usman, Aisyah dan Saad bin Abi Waqqas r.a..

Dalil lain adalah bahwa tatkala seorang musafir bermakmum dengan orang yang mukim, maka wajib baginya menyempurnakan sholat mengikuti tata cara shalat imam yang mukim. Imam Syafii mengatakan telah terjadi konsensus (Ijma') ulama mengenai hal tersebut. Seandainya sholat musafir wajib qashar dan dua rakaat maka tentu sholatnya musafir tadi tidak sah karena melebihi dua rakaat. Ini menunjukan bahwa qashar bukan keharusan, tetapi anjuran atau sunnah.

[3]. Pendapat ketiga mengatakan bahwa makruh hukumnya menyempurnakan sholat saat bepergian dan sangat disunnahkan untuk melakukan qashar. Alasannya, bahwa qashar merupakan kebiasaan Rasulullah s.a.w. dan merupakan sunnah, meninggakan sunnah merupakan perkara makruh. Rasulullah s.a.w. juga mengatakan dalam sebuah hadist yang sangat masyhur:" Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melakukannya sholat".

CARA SHOLAT QASHAR

Pelaksanaan sholat qashar sama seperti sholat biasa, hanya saja, sholat yang semestinya empat roka'at yaitu dhuhur, ashar, dan isya', di ringkas menjadi dua roka'at dengan niat qashar pada waktu takbirotul ihram.

Contoh lafadz niat qashar : Usholli fardlod-dhuhri rok'ataini qoshron lillahi ta'ala.

Artinya : saya niat sholat dhuhur dengan diqashar dua roka'at karena Allah.

SYARAT-SYARAT QASHAR

Orang yang sedang bepergian (musafir), diperbolehkan melakukan sholat dengan qashar, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Bukan bepergian maksiat, seperti bepergian dengan tujuan mencuri, dan lain-lain.

2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak kurang lebih 80,64 km. Muslim sahaat Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sejauh tiga mil atau tiga farsakh, beliau melakukan shalat dua rakaat.

Hadist lain meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:"Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian melakkan qashar pada perjalanan kurang dari empat bard, yaitu dari Makkah ke Usfan". (H.r. Dar Quthni dari Ibnu Abbas. Hadist ini juga diriwayatkan sebagai statemen Ibu Abbas).

Para ulama pada zaman dahulu memperkirakan jarak tersebut dengan durasi perjalanan selama dua hari menggunakan kuda atau onta. Dan para ulama sekarang memperkirakan sejauh 80,64 km atau dibulatkan 80 km. perbedaan kurang atau lebih sedikit tidak masalah karena al-Qur'an tidak secara jelas memberikan batasan jarak dan hadist-hadist dan perhitungan jarak mil dan farsakh versi lama masih mengalami perbedaan. Imam Syafii sangat ketat memberlakukan hitungan tersebut, yakni harus melebih minimal 80,6 km tidak boleh kurang.

3. Mengetahui hukum diperbolehkannya qashar.

4. Sholat yang di qashar berupa sholat empat roka'at. Yakni Dhuhur, Ashar dan Isya'

5. Niat qashar pada saat takbirotul ihram.

6. Tidak bermakmum/berjama'ah kepada orang yang tidak sedang melakukan qashar sholat.

7. Tidak berniat mukim untuk jangka waktu lebih dari tiga hari tiga malam di satu tempat.

Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama seorang musafir masih diperbolehkan melakukan qashar ketika transit di satu tempat. Mayoritas ulama dan mazhab empat kecuali Hanafi mengatakan maksimum transit yang diperbolehkan melakukan qashar adalah tiga hari. Kalau seorang musafir menetap di satu tempat telah melebihi tiga hari maka ia tidak boleh lagi melakukan qashar dan harus menyempurnakan sholat. Pendapat kedua diikuti imam Hanafi dan Sofyan al-Tsauri mengatakan maksimum waktu transit yang dipernolehkan jama' adalah 15 hari. Pendapat ketiga diikuti sebagian ulama Hanbali dan Dawud mengatakan maksimum 4 hari.

JAMA' SHOLAT (MENGGABUNG DUA SHOLAT)

Menjama' sholat adalah melakukan sholat Dhuhur dan Ashar dalam salah satu waktu kedua sholat tersebut secara berturut-turut, atau melaksanakan sholat Maghrib dan Isya' dalam salah satu waktu kedua sholat tersebut secara berturut-turut. Maka sholat dengan cara jama' ada dua macam:

1. Jama' taqdim. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu dhuhur, atau sholat maghrib dan sholat isya' dalam waktu maghrib.

2. Jama' ta'khir. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu ashar, atau sholat maghrib dan sholat isya' dalam waktu isya'.

HUKUM JAMA'

Banyak yang beranggapan bahwa jama' merupakan ketentuan yang tidak terkait dengan qashar. Sejatinya kedua cara sholat ini tidak ada kaitannya dan mempunyai ketentuan sendiri-sendiri, hanya saja sering keduanya dilaksanakan secara bersamaan. Jadi melakukan qashar sholat dan sekaligus melakukan jama'. Sholat seperti itu disebut jama' qashar.

Para ulama melihat bahwa ketentuan jama' lebih longgar dibandingkan dengan qashar. Qashar boleh dilakukan pada kondisi tertentu dan sesuai aturan dan syarat di atas, tetapi jama' mempunyai ketentuan yang tidak seketat ketentuan di atas.

Para ulama juga berbeda pendapat mengenai diperbolehkannya jama' sholat. Mayoritas ulama mengatakan jama' sholat hukumnya boleh dan merupakan hak musafir. Karena hukumnya boleh maka seorang musafir boleh malakukan jama' dan boleh tidak melakukannya. Melakukannya dengan keyakinan mengikuti Rasululah s.a.w. adalah kesunahan.

Dalil-dalil yang menunjukkan dipebolehkannya jama' adalah antara lain:

[1]. Hadist riwayat Bukhari dari Anas bin Malik r.a. belaiau berkata bahwa Rasulullah s.a.w menggabung sholat Maghrib dan Isya' pada saat bepergian.

[2]. Hadist riwayat Muslim dari Muadz beliau berkata: kami bepergian bersama Rasulullah s.a.w. untuk perang Tabuk, beliau melakukan sholat Dhuhur dan Ashar secara digabung dan begitu juga dengan sholat Maghrib dan Isya'.

[1] hadist Anas bin Malik r.a.: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sebelum matahari condong ke barar, beliau mengakhirkan sholat dhuhur di waktu ashar, lalu beliau berhenti dan sholat keduanya. Apabila beliau berangkat setelah masuk waktu sholat maka beliau sholat dulu lalu memulai perjalanan". (h.r. Bukhari Muslim).

[2] Hadist Ibnu Umar r.a. berkata: suatu hari aku dimintai pertolongan oleh salah satu keluarganya yang tinggal jauh sehingga beliau melakukan perjalanan, beliau mengakhirkan maghrib hingga waktu isya' kemudian berhenti dan melakukan kedua sholat secara jama', kemudian beliau menceritakan bahwa itu yang dilakukan Rasulullah s.a.w. ketika menghadapi perjalanan panjang.

Kedua hadist di atas juga dijadikan landasan diperbolehkannya jama' taqdim, yaitu melakukan kedua pasangan sholat di atas dalam waktu pertama.

[3]. Hadist Muadz r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. pada waktu perang Tabuk, manakala beliau meulai perjalanan setelah Maghrib, beliau memajukan Isya' dan melaksanakannya di waktu sholat maghrib. (h.r. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau menghasankan hadist ini).

Sebagian ulama dari kelompok ini mengatakan bahwa yang utama bagi musafir yang sedang dalam perjalanan adalah melakukan jama'. Sedangkan musafir yang melakukan transit atau stop over lebih utama melakukan sempurna. Yang jelas dengan semangat mengikti sunnah Rasulullah s.a.w. maka kita mengikuti yang paling mudah dan meringankan sejauh itu tidak dosa. Rasulullah s.a.w. tidak pernah disodori dua pilihan kecuali mengambil yang paling mudah selama itu tidak dosa, kalau itu dosa maka beliau yang paling gigih menjauhinya (h.r. Bukhari dan Muslim).

Pendapat kedua adalah yang diikuti imam Ibu Hanifah atau mazhab Hanafi mengatakan bahwa sholat jama hanya boleh dilakukan pada hari Arafah untuk para jamaah haji, yaitu jama' taqdim, dan jama' ta'kir pada malam Muzdalifah. Alasan pendapat ini bahwa riwayat-riwayat yang menceritakan waktu-waktu sholat adalah hadist mutawaatir (diriwayatkan banyak orang), sedangkan hadist yang meriwayatkan jama' selain di waktu haji adalah hadist Ahad (personal), hadist yang mutawatir tidak bisa ditinggalkan dengan hadist ahad. Pendapat ini juga melandaskan pada riwayat Ibnu Mas'ud r.a. beliau berkata: "Demi Dzat yang tidak ada tuhan lain yang menyekutuinya, Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukan sholat kecuali pada waktunya kecuali dua sholat, yaitu beliau melakukan jama' (taqdim) dhuhur dan ashar di Arafah dan jama' (ta'khir) maghrib dan isya di Muzdalifah" (h.r. Bukhari Muslim).

CARA JAMA' TAQDIM

Yang dimaksud dengan sholat jama' taqdim adalah, melakukan sholat ashar dalam waktunya sholat dhuhur, atau melakukan sholat isya' dalam waktunya sholat maghrib. Sholat shubuh tidak dapat dijama' dengan sholat isya'. Pelaksanaan sholat dengan jama' taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dilakukan dengan cara, setelah masuk waktu dhuhur, terlebih dahulu melakukan sholat dhuhur, dan ketika takbirotul ihram, berniat menjama' sholat dhuhur dengan ashar.

Contoh :

Usholli fardlod-dhuhri jam'an bil 'ashri taqdiman lillahi ta'ala.

Artinya : "Saya berniat sholat dhuhur dengan dijama' taqdim dengan ashar karena Allah"

Niat jama' taqdim, dapat juga dilakukan di tengah-tengah sholat dhuhur sebelum salam, dengan cara berniat didalam hati tanpa diucapkan, menjama' taqdim antara ashar dengan dhuhur.

Kemudian setelah salam dari sholat dhuhur, cepat-cepat melakukan sholat ashar. Demikian juga cara sholat jama' taqdim antara sholat maghrib dengan sholat isya', sama dengan cara jama' taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dan lafadz dhuhur diganti dengan maghrib, lafadz ashar diganti dengan isya'.

Jika sholat jama' taqdim dilakukan dengan qashar, maka sholat yang empat raka'at, yaitu dhuhur, ashar, dan isya', diringkas menjadi dua rokaat. Contoh niat jama' taqdim serta qashar:

Usholli fardlod-dhuhri rok'ataini jam'an bil 'ashri taqdiman wa qoshron
lillahi ta'ala

Artinya : "Saya berniat sholat dhuhur dua roka'at dengan dijama' taqdim dengan ashar dan diqashar karena Allah "

SYARAT-SYARAT JAMA' TAQDIM

Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan sholat jama' taqdim, dengan syarat sebagai berikut :

1. Bukan berpergian maksiat .

2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)

3. Berniat jama' taqdim dalam sholat yang pertama ( Dhuhur / Maghrib).

4. Tartib, yakni mendahulukan sholat dhuhur sebelum sholat ashar dan mendahulukan sholat maghrib sebelum sholat isya'.

5. Wila, yakni setelah salam dari sholat pertama, segera cepat-cepat melakukan sholat kedua, tenggang waktu anatara sholat pertama dengan sholat kedua, selambat-lambatnya, kira-kira tidak cukup untuk mengerjakan dua roka'at singkat.

CARA JAMA' TA'KHIR

Yang dimaksud dengan jama' ta'khir adalah, melakukan sholat dhuhur dalam waktunya sholat ashar, atau melakukan sholat maghrib dalam waktunya sholat, isya'. Sholat shubuh tidak dapat dijama' dengan sholat dhuhur. Pelaksanaan sholat jama' ta'khir antara sholat dhuhur dan ashar, dilakukan dengan cara, apabila telah masuk waktu dhuhur, maka dalam hati niat mengakhirkan sholat dhuhur untuk dijama' dengan sholat ashar dalam waktu sholat ashar. Kemudian setelah masuk waktu ashar, melakukan sholat dhuhur dan sholat ashar seperti biasa tanpa harus mengulangi niat jama' ta'khir. Demikian juga cara melakukan jama' ta'khir sholat magrib dengan sholat isya'. Ketika masuk waktu maghrib berniat dalam hati mengakhirkan sholat maghrib untuk di jama' pada waktu sholat isya'.

SYARAT-SYARAT JAMA' TA'KHIR

Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan jama' ta'khir apabila memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Bukan bepergian maksiat.

2. Jarak yang ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)

3. Berniat jama' ta'khir didalam waktu dhuhur atau waktu maghrib.

KONDISI DIPERBOLEHKAN MELAKUKAN JAMA'

Ketentuan jama' dan atas adalah mengacu kepada pendapat mazhab Syafii. Berikut ini adalah kondisi-kondisi yang diperbolehkan melakukan sholat dengan jama' dari berbagai mazhab:

1. Perjalanan panjang lebih dari 80,64km (Syafii dan Hanbali).

2. Perjalanan mutlak meskipun kurang 80km (Maliki).

3. Hujan lebat sehingga menyulitkan melakukan sholat berjamaah khusus untuk sholat maghrib dan isya' (Maliki, Hanbali). Termasuk kategori ini adalah jalan yang becek, banjir dan salju yang lebat. Mazhab Syafii untuk kondisi seperti ini hanya memperbolehkan jama' taqdim. Dalil dari pendapat ini adalah hadist Ibnu Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. sholat bersama kita di Madina dhuhur dan ashar digabung dan maghrib dan isya' digabung, bukan karena takut dan bepergian" (h.r. Bukhari Muslim).

4. Sakit (menurut Maliki hanya boleh jama' simbolis, yaitu melakukan solat awal di akhir waktunya dan melakukan sholar kedua di awal waktunya. Menurut Hanbali sakit diperbolehkan menjama' sholat).

5. Saat haji yaitu di Arafah dan Muzdalifah.

6. Menyusui, karena sulit menjaga suci, bagi ibu-ibu yang anaknya masih kecil dan tidak memakai pampers (Hanbali).

7. Saat kesulitan mendapatkan air bersih (Hanbali).

8. Saat kesulitan mengetahu waktu sholat (Hanbali).

9. Saat perempuan mengalami istihadlah, yaitu darah yang keluar di luar siklus haid. (Hanbali). Pendapat ini didukung hadist Hamnah ketika meminta fatwa kepada Rasulullah s.a.w. saat menderita istihadlah, Rasulullah s.a.w. bersabda:"Kalau kamu mampu mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar, lalu kamu mandi dan melakukan jama' kedua sholat tersebut maka lakukanlah itu" (h.r. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi.

10. Karena kebutuhan yang sangat mendesak, seperti khawatir keselamatan diri sendiri atau hartanya atau darurat mencari nafkah dan seperti para pekerja yang tidak bisa ditinggal kerjaannya. (Hanbali).

Para pekerja di kota-kota besar yang pulang dengan tansportasi umum setelah sholat ashar sering menghadapi kondisi sulit untuk melaksanakan sholat maghrib secara tepat waktu karena kendaraan belum sampai di tujuan kecuali setelah masuk waktu isya', sementara untuk turun dan melakukan sholat maghrib juga tidak mudah. Pada kondisi ini dapat mengikuti mazhab Hanbali yang relatif fleksibel memperbolehkan pelaksanaan sholat jama'. Menurut mazhab Hanbali asas diperbolehkannya qashar sholat adalah karena bepergian jauh, sedangkan asas diperbolehkannya jama' adalah karena hajah atau kebutuhan. Maka ketentuan jama' lebih fleksibel dibandingkan dengan ketentuan qashar.

SHOLAT DI ATAS KENDARAAN

Pelaksanaan sholat di atas kendaraan pesawat, sama seperti sholat ditempat lainnya. Jika dimungkinkan berdiri, maka harus dilakukan dengan berdiri, ruku' dan sujud dilakukan seperti biasa dengan menghadap qiblat. Namun jika tidak bisa dilakukan dengan berdiri, maka boleh sholat dengan duduk dan isyarat untuk sholat sunnah. Sedangkan untuk sholat fardlu maka ruku-rukun sholat seperti ruku' dan sujud, mutlak tidak boleh ditinggalkan. Sholat fardlu yang dilaksanakan di atas kendaraan sah manakala memungkinkan melakukan sujud dan ruku' serta rukun-rukun lainnya. Itu dapat dilakukan di atas pesawat atau kapal api yang mempunyai ruangan atau tempat yang memungkinkan melakukan sholatg secara sempurna. Apabila tidak memungkinkan melakukan itu, maka sholat fardlu sambil duduk dan isyarat bagi orang yang sehat tidak sah dan harus diulang. Demikian pendapat mayoritas ulama.

Pendapat ini dilandaskan kepada hadist-hadist berikut:

[1]. Dalam hadist riwayat Bukhari dari Ibnu Umar r.a. berkata:"Rasulullah s.a.w. melakukan sholat malam dalam bepergian di atas kendaraan dengan menghadap sesuai arah kendaraan, beliau berisayarat (ketika ruku' dan sujud), kecuali sholat-sholat fardlu. Beliau juga melakukan sholat witir di atas kendaraan.

[2].Hadist Bukhari yang lain dari Salim bin Abdullah bin Umar r.a. berkata:"Abdullah bin Umar pernah sholat malam di atas kendaraannya dalam bepergian, beliau tidak peduli dengan arah kemana menghadap. Ibnu Umar berkata:"Rasulullah s.a.w. juga melakukan sholat di atas kendaraan dan menghadap kemana kendaraan berjalan, beliau juga melakukan sholat witir, hanya saja itu tidak pernah dilakukannya untuk sholat fardlu".

Bagaimana melaksanakan sholat fardlu di atas kendaraan yang tidak memungkinkan memenuhi rukun-rukun sholat? Terdapat dua cara, yaitu:

[1] Melakukan sholat untuk menghormati waktu (lihurmatil wakti) dengan sebisanya, misalnya sambil duduk dan isyarat. Sholat seperti ini wajib diulang (I'adah), setelah menemukan sarana dan prasarana melaksanakan sholat fardlu secara sempurna

Cara melakukan sholat lihurmatil waqti, sama seperti melakukan sholat biasa, hanya saja, bagi yang sedang berhadats besar, seperti junub, dicukupkan dengan hanya membaca bacaan yang wajib-wajib saja, tidak boleh membaca surat-suratan setelah bacaan fatihah.

ANTARA WUDLU DAN TAYAMMUM

Saat bepergian atau di atas kendaraan, untuk melaksanakan sholat terkadang mengalami kendala sulitnya mencari air. Maka pada saat tidak menemukan air untuk berwudlu, atau ada air, namun oleh pemilik air tidak diperbolehkan digunakan berwudlu', seperti ketika berada didalam pesawat, oleh petugas tidak diperbolehkan menggunakan air untuk berwudlu', karena dikhawatirkan dapat mengganggu sistem pesawat, sehingga dikhawatirkan membahayakan keselamatan para penumpang. Maka dalam kondisi ini diperbolehkan tayammum, yaitu bersuci dengan debu.

Pada saat dimana juga tidak terdapat sarana untuk bertayamum, seperti debu, maka sholatnya dapat dilakukan dengan cara di atas.

QADLA SHOLAT YANG TERTINGGAL SAAT BEPERGIAN

Apabila kita bepergian dan karena satu dan lain hal kita terpaksa meninggalkan sholat atau tidak mungkin melakukan sholat, maka kita wajib melakukan qadla atas sholat yang kita tinggalkan tersebut. Qadla artinya melakukan sholat di luar waktu seharusnya.

Untuk sholat yang ditinggalkan saat bepergian jauh, qadla juga dapat dilaksanakan dengan qashar sesuai ketentuan qashar di atas, asalkan masih dalam kondisi bepergian dan belum sampai di tempat tujuan atau tempat bermukim, atau telah kembali di rumah. Maka apabila kita ingin melakukan qadla shalat yang tertinggal dalam bepergian, hendaknya melakukannya pada saat masih dalam perjalanan dan sebelum sampai di rumah, sehingga kita masih mendapatkan dispensasi melakukan qashar.

Apabila kita melakukan qadla shalat yang tertinggal di perjalanan tadi telah sampai di tempat tujuan untuk bermukim lebih dari tiga hari, atau setelah kita sampai di rumah, maka kita tidak lagi mendapatkan dispensasi qashar dan harus melaksanakannya dengan sempurna. Alasannya adalah karena keringanan qashar diberikan saat bepergian dan saat itu kita bukan lagi musafir maka wajib melaksanakan sholat secara sempurna.

BATAS MULAI DIPERBOLEHKAN MENGAMBIL KERINGANAN

Batas mulai diperbolehan jamak dan qashar adalah pada saat musafir telah melewati batas desanya. Begitu juga batas akhir mulai tidak diperbolehkan melakukan qashar atau jamak bagi seorang musafir adalah pada saat mulai memasuki batas desa dimana dia akan tinggal atau bermukim. Kalau anda melakukan qashar dan jamak takhir saat perjalanan pulang, hendaknya melakukannya sebelum masuk batas desa anda. Kalau anda terlanjur masuk desa tersebut, maka anda tidak lagi berhak atas keringanan seperti jamak atau qashar.

Semoga bermanfaat. Artikel ini disarikan dari berbagai sumber kitab kuning.

Disusun Oleh Ustadz Muhammad Niam